Kasus-kasus penipuan digital berbasis teknologi deepfake terus meningkat di berbagai belahan dunia. Salah satu kasus terbesar terjadi di Hong Kong: sebuah perusahaan multinasional ditipu melalui panggilan video deepfake yang meniru eksekutif mereka.
Di Australia, seorang korban kehilangan tabungan sebesar 400.000 dolar Australia akibat video palsu dari tokoh terkenal yang mempromosikan investasi fiktif. Secara nasional, total kerugian akibat penipuan serupa mencapai 8 juta dolar Australia.
Indonesia juga perlu waspada. PT Indonesia Digital Identity (VIDA) mencatat peningkatan kasus penipuan menggunakan deepfake yang sangat signifikan, yakni 1.550% pada 2022-2023. Jenis penipuan meliputi social engineering (soceng), account takeover (ATO), identity theft (pencurian identitas), dan document forgery (pemalsuan dokumen).
Pengamat informasi dan teknologi Heru Sutadi membenarkan penipuan bermodus deepfake semakin berbahaya. Ia mencontohkan video deepfake yang menggunakan wajah Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mempromosikan bantuan sosial palsu pada awal 2025.
“Modus penipuan seperti ini akan terus dimanfaatkan, terutama di tengah literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah. Masyarakat harus lebih cerdas dan berhati-hati terhadap deepfake yang menyaru sebagai suami, istri, pejabat, atau bahkan polisi demi menipu dan mendorong kita memberikan uang,” ujar Heru kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Kasus penipuan bermodus deepfake yang terjadi di Australia, kata Heru, bisa saja terjadi di Indonesia. Pasalnya, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia sangat rendah.
"Di Australia kan bahkan video deepfake-nya dipromosikan lewat media sosial dan berbayar. Jadi, memang unsur mens rea atau niat jahat sudah ada sejak awal," imbuh Heru.
Tak hanya bermotif finansial, Heru juga mengingatkan penipuan menggunakan deepfake juga akan semakin marak jelang tahun politik. Teknologi deepfake bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks, seperti video atau pernyataan palsu yang seolah-olah dilakukan oleh tokoh tertentu.
“Ini bisa menciptakan disinformasi yang sangat berbahaya. Masyarakatnya harus diliterasi, diedukasi supaya jangan mudah percaya. Kalau ada penipuan, ya. aparat penegak hukum harus segera bertindak," kata dia.
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menegaskan bahwa ancaman deepfake sangat serius. Ia menyebutkan bahwa teknologi terkini bahkan memungkinkan manipulasi suara (voice cloning) dan tampilan video rekayasa yang sangat mulus melalui platform seperti Google Veo3.
Ia menyebut deepfake sebagai bentuk baru dari penyalahgunaan AI yang berpotensi merugikan banyak pihak, terutama dalam konteks finansial. Semua pengguna layanan digital rentan terjerat, terutama mereka yang terhubung dengan layanan keuangan.
"Seperti nasabah bank, pengguna kripto, atau m-banking. Modusnya bisa dengan menyamar sebagai petugas bank, pajak, atau polisi, lalu mengarahkan korban untuk mengklik tautan phishing atau mengunduh file berbahaya,” jelas Alfons kepada Alinea.id.
Kasus penipuan di Australia, menurut Alfons, adalah contoh nyata dari bagaimana deepfake digunakan untuk meyakinkan korban dengan iming-iming keuntungan besar.
“Jangankan orang Indonesia, masyarakat Australia yang literasi digitalnya lebih baik pun bisa tertipu. Artinya, siapa pun bisa menjadi korban,” ujarnya.
Alfons sepakat bahwa literasi digital adalah kunci utama dalam mencegah masyarakat menjadi korban deepfake. Edukasi publik harus ditingkatkan agar masyarakat tidak mudah percaya terhadap konten digital, terutama yang menjanjikan keuntungan tidak masuk akal.
“Sulit mencegah 100% jika pelaku menggunakan rekayasa sosial yang sempurna. Tapi, setidaknya masyarakat harus ekstra hati-hati dan tidak mudah tergoda iming-iming yang tidak masuk akal,” kata dia.